Jumat, 15 Oktober 2010

BIOTRANSFORMASI DAN DETOKSIFIKASI INSEKTISIDA ORGANOPHOSPHAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) baik hama maupun penyakit relatif tinggi setiap tahun. Gangguan tersebut belum dapat dikendalikan secara optimal sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik berupa kehilangan hasil, menurunkan mutu, terganggunya kontinuitas produksi, serta penurunan pendapatan petani. Gangguan OPT dimasa yang akan datang diperkirakan akan semakin kompleks, karena perubahan fenomena iklim global yang berpengaruh terhadap pola musim/cuaca lokal yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan OPT (Dirjen Tanaman Pangan, 2006).
Menurut Untung (2006) melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi perlindungan tanaman, manusia selalu berupaya mengubah ekosistem pertanian agar menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan manusia pada satu saat dan tempat tertentu. Keberadaan populasi hama di pertanaman selalu dianggap merugikan sehingga manusia berusaha membunuh hama dengan cara apapun, salah satunya yaitu dengan mengunakan pestisida yang terbuat dari bahan kimia organik dan anorganik.
Pada awal tahun 1940-an, sejak ditemukannya jenis-jenis pestisida organofosfat dan karbamat, maka banyak ahli yang mengira bahwa masalah hama dan organisme pengganggu tanaman (OPT) telah terselesaikan dengan melakukan penyemprotan pestisida. Pada awalnya memang cara ini memberikan hasil yang sangat memuaskan, namun pada akhirnya hama tanaman mulai mengembangkan ketahanan terhadap pestisida. Penyemprotan dengan pestisida secara berulang-ulang dan dalam dosis yang semakin tinggi telah memberikan dampak negatif karena selain hama menjadi tahan terhadap pestisida juga terjadi perkembangan hama baru, terbunuhnya musuh-musuh alami dan organisme non target lainnya seperti burung, ular dan hewan-hewan langka. Selain itu penyemprotan telah mengakibatkan adanya residu pestisida pada hasil-hasil tanaman, air, tanah dan udara serta pencemaran lingkungan secara umum yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan hewan-hewan domestik (Sembel, 2007).
Menurut Trisyono (2006) di Indonesia dalam lima tahun terakhir, jumlah penggunaan pestisida dan jumlah pestisida yang terdaftar semakin meningkat. Pada tahun 2004 hanya tercatat 1.082 dan tahun 2002 tercatat 813 nama dagang, sedangkan pada tahun 2006 beredar 1.500 nama dagang pestisida, hal ini berarti ada peningkatan cukup tajam dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Selain itu pestisida yang beredar di lapangan mempunyai daya serangnya tidak spesifik membunuh serangga sasaran, sehingga apabila pestisida tersebut masih digunakan, justru bisa mengakibatkan letusan serangan hama.
Menurut Abadi (2005) petani rata-rata menggunakan pestisida untuk mengendalikan serangan OPT, penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit hampir menjadi satu-satunya cara pengendalian, karena pestisida sangat efektif, praktis serta cepat membunuh OPT. Hal ini dikarenakan pestisida mudah ditemukan di pasaran dengan pilihan yang banyak dan harga yang relatif terjangkau.
Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana dan tanpa didasari oleh kepedulian akan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan, telah membawa dampak negatif. Dampak tersebut antara lain terjadinya resistensi pada hama dan penyakit, adanya resurjensi hama (hama meningkat setelah aplikasi pestisida), ledakan hama sekunder (hama yang awalnya dianggap tidak penting), dan yang lebih penting lagi adalah dampak negatifnya terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan (Abadi, 2005). Berdasarkan fakta tersebut, sangat diperlukan pengkajian khusus yang membahas mengenai pencemaran lingkungan karena pestisida beserta dampaknya terhadap lingkungan di sekitarnya.

B. Tujuan dan Manfaat
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini antara lain, yaitu:
1. Sebagai bahan kajian para mahasiswa mengenai dampak pencemaran terhadap lingkungan
2. Sebagai cara untuk mencari berbagai cara untuk menanggulangi dampak pencemaran yang sedang dikaji
3. Sebagai metode pengumpulan data tentang pencemaran lingkungan






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pestisida
Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi :
- Insektisida (pembunuh insekta)
- Fungisida ( pembunuh jamur)
- Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu)
Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (untuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga.
Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida banyak digunakan di negara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan di negara yang sudah maju. Dalam beberapa data negara-negara yang banyak menggunakan pestisida adalah sebagai berikut
- Amerika Serikat 45%
- Eropa Barat 25%
- Jepang 12%
- Negara berkembang lainnya 18%
Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia, penggunaan pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka pestisida dapat dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan.
Klasifikasi
Bentuk Kimia Bahan aktif Keterangan
1. Insektisida Botani


Carbamat




Organophosphat






Organochlorin Nikotine
Pyrethrine
Rotenon
Carbaryl
Carbofuran
Methiocorb

Thiocarb
Dichlorovos
Dimethoat

Palathion
Malathion
Diazinon
Chlorpyrifos
DDT
Lindane
Dieldrin
Eldrin
Endosulfan
gammaHCH Tembakau
Pyrtrum
-
toksik kontak
toksik sistemik
bekerja pada lambung
juga moluskisida
toksik kontak
toksik kontak, sistemik

toksik kontak
toksik kontak
kontak dan ingesti

kontak, ingesti
persisten
persisten
kontak, ingesti
kontak, ingesti
Herbisida Aset anilid
Amida
Diazinone
Carbamate

Triazine

Triazinone Atachlor
Propachlor
Bentazaone
Chlorprophan
Asulam
Athrazin
Metribuzine
Metamitron Sifat residu

Kontak




Toksin kontak
Fungisida Inorganik



Benzimidazole
Hydrocarbon-phenolik Bordeaux mixture
Copper oxychlorid
Mercurous chloride
Sulfur
Thiabendazole
Tar oil Protektan
Proteoktan


Protektan, sistemik
Protektan, kuratif

B. Organophosphat
Lebih dari 50.000 komponen organophosphate telah disynthesis dan diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenis saja dewasa ini. Semua produk organophosphate tersebut berefek toksik bila tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin, edroprium dan neostigmin yang digunakan utuk aktivitas kholinomimetik (efek seperti asetyl kholin). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik (mis: trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.
a) struktur komponen organophosphate
Organophosphat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II. Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal synthesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan komponen yang poten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap orang (mis: malathion), tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.

Nama Structure
Tetraethylpyrophosphate (TEPP)
Parathion
Malathion
Sarin

b) Mekanisme toksisitas
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.




Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.




Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.

Tabel 1. Nilai LD50 insektisida organofosfat
Komponen LD50 (mg/Kg)
Akton
Coroxon
Diazinon
Dichlorovos
Ethion
Malathion
Mecarban
Methyl parathion
Parathion
Sevin
Systox
TEPP 146
12
100
56
27
1375
36
10
3
274
2,5
1

c) Gejala keracunan
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat bergantung pada adanya stimilasi asetilkholin persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi.saraf pusat maupun perifer.

Tabel 2. Efek muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat.
Efek Gejala
1. Muskarinik - Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diaree (SLUD)
- Kejang perut
- Nausea dan vomitus
- Bradicardia
- Miosis
- Berkeringat
2. nikotinik - Pegal-pegal, lemah
- Tremor
- Paralysis
- Dyspnea
- Tachicardia
3. sistem saraf pusat - Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
- Sakit kepala
- Emosi tidak stabil
- Bicara terbata-bata
- Kelemahan umum
- Convulsi
- Depresi respirasi dan gangguan jantung
- Koma

Gejala awal seperti SLUD terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot polos.

C. Biotransformasi Pestisida
Biotransformasi pestisida oleh makhluk hidup mencakup biodegradasi detoksifikasi dan metabolisme serta telah mengalami penelitian yang seksama. Kebanyakan pestisida bersama dengan pencemar lainnya diubah bentuk oleh organisme-organisme dengan beberapa jalur reaksi utama, pestisida di oksidasi, dihidrolisis atau direduksi (Fase I) atau dikonjugasi dengan glisin, GSH atau glukoronat (Fase II) atau kedua reaksi Fase I dan Fase II. Secara umum, pestisida lipofilik dimetabolisir menjadi metabolit-metabolit yang lebih larut dalam air dan kurang toksik.
Reaksi kedua fase dikatalis menggunakan enzim yg terjadi dalam plasma atau hati. Enzim ini terdistribusi dalam bagian mikrosom subsel yang diturunkan dari retikulum endoplasmik atau mitokondria. Jalur detoksifikasi utama diperantarai oleh sistem enzim ini, mencakup perubahan metabolik awal seperti oksidasi dan hidrolisis. Detoksifikasi dapat mencakup lebih dari satu jalur reaksi.
Metabolit polar yang dihasilan dari detoksifikasi awal pestisida dapat terkonjugasi sebelum ekskresi. Terdapat beberapa jalur untuk konjugasi dan eliminasi pestisida dan metabolitnya dari biota. Jasad renik tidak memperlihatkan reaksi konjugasi karena ekskresi mengambil tempat melalui permukaan sel. Meskipun demikian, tumbuhan tidak memngeluarkan pestisida dan metabolinya.sebagai gantinya, mereka mengkonjugasikan zat-zat ini dengan senyawa endogen dan menyimpannya dalam tembpat dalam sel yang secara metabolik tidak aktif (fakuola). Hewan mula-mula mengeluarkan pestisida dalam air kencing dan empedu, namun cara lain mencakup telur susu dan keringat.
Laju dari berbagai raksi ini menentukan toksisitas selaktif peptisida terhasap mahluk yang berbeda dan juga dihubungkan dalam perbedaan dalam enzim yang didetoksifikasi. Keberadaan dankegiatan sistem enzim ini dalam klompok pilogenetik utama dari mahluk bukan sasaran merupakan faktor kritis dalam kerapuhan atau ketahanan mahluk ini terhadap kontak xenobiotik.
Pembentukan metabolit yang aktif secra biologis dari pestisida yang spektrumnya luas, misalnya DDT, Aldrin, Hepatoklor, parathion, dalam berbagai biota dapat nyata secara ekologis. Kebutuhan ini perlu dicamkan dalam residu.


D. Tingkat Keracunan Pestisida jenis Insektisida
Tingkat keracunan pestisida jenis insektisida dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
• Acute poisoning, yaitu keracunan yang terjadi akibat masuknya sejumlah besar pestisida sekaligus ke dalam tubuh, misal kasus salah makan ataupun bunuh diri. Gejala dari keracunan akut, mual, muntah-muntah, sakit kepala, pusing, kebingungan/panik, kejang otot, lemah otot, sawan.
• Sub-acute poisoning, merupakan keracunan yang ditimbulkan oleh sejumlah kecil pestisida yang masuk ke dalam tubuh,namun terjadinya secara berulang-ulang.
• Chronic poisoning, yaitu keracunan akibat masuknya sejumlah kecil pestisida dalam waktu yang lama dan pestisida mempunyai kecenderungan untuk terakumulasi dalam tubuh.

E. Penanganan Keracunan
Terapi suportif
• Pastikan semua staff menggunakan perlengkapan proteksi karena absorsi perkutaneus dan inhalasi dapat menyebabkan keracunan.
• Penderita ditangani pada area critical care, dengan perlengkapan resusitasi yang selalu tersedia.
• Lakukan detoksifikasi dengan melepas pakaian penderita dan memandikannya.
• Pertahankan patensi jalan nafas lakukan intubasi orotrakeal jika apnue, atau tidak memiliki reflek muntah. Suction aktif berkala dibutuhkan bila ada bronkorhoea.
• Berikan oksigen aliran tinggi via non-rebreather reservoir mask.
• Lakukan gastric lavage jika ada indikasi, terutama pada beberapa jam pertama setelah ingestion.
• Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
• Pasang jalur IV.
• Cairan IV : kristaloid untuk menggantikan hilangnya cairan melalui vomiting dan diare.
• Lab : darah lengkap, urea/elektrolit/kreatinin, kolinesterase plasma gaster dan specimen toksikologi serum

Terapi Obat
• Arang aktif via gastric lavage tube. Dosis 1g/kgBB
• Atropin : obat pertama yang diberikan pada keracunan simptomatik.
1. penggunaan utamanya adalahreduksi bronkorrhoea/bronkospasme
2. Dosis besar mungkin dibutuhkan untuk mengontrol sekresi jalan nafas.
Dosis : dewasa : 2 mg IV tiap 10-15 menit prn; dosis dapat digandakan tiap 10 mneit sampai sekresi terkontrol atau tanda atropinisasi jelas (flush, kulit kering, taikardia, midriasis, dan mulut kering).
Anak-anak : 0,05 mg/kgBB tiap 15 menit prn, dosis dapat digandakan tiap 10 menit sampai sekresi terkontrol.
• Pralidoxime (2-PAM, Protopam)
1. pralidoxime harus diberikan dengan atropine pada tiap pasien simptomatik
2. efek akan terlihat dalam 30 menit dan meliputi hilangnya kejang dan fasikulasi, perbaikan kekuatan otot dan pemulihan kesadaran.
3. pemberian pralidoxim biasanya mengurangi jumlah atropine yang diberikan dan tidak menutupi toksisitas atropine.
Dosis : Dewasa : 1gm IV selama 15-30 menit; dapat diulang dalam 1-2 jam bila perlu
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB IV selama 15-30 menit; dapat diulang 1-2 jam.
• Diazepam (Valium) : digunakan untuk mengurangi kecemasan , gelisah dan mengontrol kejang.
Dosis : 5-10 mg IV untuk kecemasan/restlessmess
Catatan : dosis dinaikkan sampai 10-20 mg IV mungkin diperlukan untuk mengkontrol kejang.

Disposisi
• Lakukan konsultasi pada general medicine pada HD/ICU
• Untuk kasus terapi keracunan subklinis dimana terapi tidak diperlukan, penderita sebaiknya MRS setidaknya 24 jam, untuk meyakinkan bahwa keracunan yang delayed tidak akan berkembang.

F. Pencemaran Tanah
Dampak lingkungan penggunaan pestisida berkaitan dengan sifat mendasar yang penting terhadap efektifitasnya terhadap pestisida. Pertama, pestisida cukup beracun untuk mempengaruhi seluruh kelompok taksonomi biota, termasuk makhluk bukan-sasaran, sampai batas tertentu tergantung pada faktor fisiologis dan ekologis. Kedua, banyak pestusida tahan terhadap degradasi lingkungan sehingga mereka dapat tahan dalam daerah yang diberi perlakuan dan dengan pemikiran keefektifannya dapat diperkuat. Sifat ini juga memberikan pengaruh jangka panjang dalam ekosistem alamiah.
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping).
Ketika suatu zat berbahaya/beracun telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya.
Pestisida yang digunakan bukan saja mematikan hama tanaman tetapi juga mikroorgaisme yang berguna di dalam tanah. Padahal kesuburan tanah tergantung pada jumlah organisme di dalamnya. Selain pencemaran tanah penggunaan pestisida yang terus menerus akan mengakibatkan hama tanaman kebal terhadap pestisida tersebut.
Cara pemakaian di udara biasanya menghasilkan sejumlah besar pestisida yang dipindahkan ke bukan-sasaran, yaitu ekosistem alamiah. Hamburan dalam atmosfer menyebabkan perlakuan daerah daratan alamiah sedangkan aliran air memindahkan sejumlah sebagian besar ke daerah air tawar dan terutama ke lautan.


G. Efek pencemaran pada ekosistem
Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Bahkan jika efek kimia pada bentuk kehidupan terbawah tersebut rendah, bagian bawah piramida makanan dapat menelan bahan kimia asing yang lama-kelamaan akan terkonsentrasi pada makhluk-makhluk penghuni piramida atas. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.
Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memilikiwaktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahan-bahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.

H. Penanganan yang harus dilakukan
Ada beberapa langkah penangan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran tanah. Diantaranya adalah :
1. Remidiasi
Remediasi adalah kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.
2. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).






























BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping).
Ada beberapa cara untuk mengurangi dampak dari pencemaran tanah, diantaranya dengan remediasi dan bioremidiasi. Remediasi yaitu dengan cara membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Sedangkan Bioremediasi dengan cara proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri).
Selengkapnya...